PENGARUH MEDIA TERHADAP PEMILIHAN LANGSUNG (Melalui Pendekatan Rational Choice)
Oleh
MISS MEI NORAMELIA
Pengantar
Makalah
ini dimaksudkan untuk menguraikan tentang bagaimana media dapat mempengaruhi pilihan
seseorang terhadap sesuatu. Media massa adalah salah satu cara yang paling
banyak digunakan untuk mengakses informasi tentang dunia sekitar kita, dan
sekaligus merupakan sumber dari sebagian besar kigiatan hiburan kita.
Karenanya, media adalah tempat yang sangat berpotensi untuk memproduksi dan
menyebarluaskan makna sosial, atau dengan kata lain, media berperan besar dalam
menentukan makna dan kejadian-kejadian yang terjadi di dunia untuk budaya,
masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Bahasa yang digunakan oleh media biasanya
mewakili kelompok sosial dan politik tertentu untuk memaparkan
kejadian-kejadian yang dianggap pantas untuk dimuat atau ditayangkan.
Pada
bab pertama, makalah ini akan menguraikan tentang pendekatan yang kami gunakan
untuk menganalisis suatu masalah. Disini saya menggunakan pendekatan “pilihan
rasional” yang menjelaskan bagaimana individu memutuskan memilih sesuatu dari
untung dan rugi yang akan mereka dapatkan. Karena pada dasarnya manusia selalu
menggunakan prilaku politik untuk menentukan sebuah pilihan, maka apapun
keputusan mereka akan mempertimbangkan prioritas-prioritas yang diutamakan dan
cenderung tergolong dalam kepentingan yang bersifat menguntungkan.
Bab
berikutnya, menjelaskan tentang peran media dalam pemilu yang membahas
cara-cara yang digunakan untuk menciptakan dan menguatkan sistem nilai
tertentu, dengan memperhatikan pada peranan wacana di dalam membentuk
keyakinan-keyakinan yang dapat mempengaruhi prilaku, motivasi, keinginan dan
kekuatan seseorang. Selanjutnya akan dibahas tentang sarana-sarana retorika
yang umum digunakan. Para politikus harus menemukan cara-cara agar bisa
mempengaruhi masyarakat dan mereka sering kali menggunakan aspek retorika dari
bahasa untuk mencapai tujuan itu.
Bab
yang ketiga memaparkan tentang pilihan rasional masyarakat terhadap pemilu
2009. Setelah pada bab sebelumnya dijelaskan bagaimana media dapat berpengaruh
terhadap pilihan masyarakat terutama pada saat pemilu langsung yang dilakukan
oleh rakyat. Pada bab ini akan dijelaskan bagaimana retorika bahasa yang
digunakan media dapat mempengaruhi pilihan masyarakat dalam memilih siapa yang
menjadi pemimpinnya dalam pemilihan umum. Masyarakat akan memutuskan memilih
kandidat tertentu setelah mempertimbangkan untung-rugi dan sejauh mana
program-program yang disodorkan oleh kandidat tersebut akan menguntungkan
dirinya, atau sebaliknya malah merugikan. Para pemilih akan cenderung memilih
kandidat yang dianggap mampu mewujudkan aspirasinya.
Pendekatan
Pilihan Rasional
Hugh
Ward, melalui tulisanya yang berjudul Rational Choice mengatakan,
“Rational-Choice adalah bagian tak terpisahkan dari perangkat analisa para
ilmuwan politik, karena banyak fenomena penting yang bisa dijelaskan, paling
tidak secara parsial, dari perspektif ini”.[1]
Jika dilihat dari metodologis, memang pendekatan pilihan rasional berdiri pada
posisi metodologi individualism. Artinya, pendekatan ini memandang bahwa
pemahaman terhadap fenomena sosial dibangun dari pemahaman terhadap preferensi,
keyakinan, dan strategi individu. Tetapi, teori ini tidak serta merta hanya
digunakan oleh para penganut paham individualism liberal. Secara implicit
maupun eksplisit banyak para pengusut teori ini yang mengakui bahwa
sesungguhnya individu-individu ini bertindak secara rasional ketika mereka juga
terbatas.
Stimulus
dan pilihan bervariasi untuk tiap individu, bergantung pada sistem dimana
individu-individu itu berada. Perkembangan teori behavioral yang terjadi dalam
ilmu politik yang berkembang di Amerika Serikat. Revolusi behavioral biasanya
dijelaskan sebagai penanda bagi upaya kolektif para ilmuwan politik berusaha
menganalisis bagaimana individu berprilaku dalam konteks politik, melalui
metode-metode empirik. Hanya saja, para behavioral cenderung menggunakan
metode-metode sosiologi, sementara para pengusung “pilihan rasional” lebih
mengandalkan metode-metode yang dipinjam dari ilmu ekonomi.
Melalui
analisis yang didasarkan premis-premis yang memandang optimis kapasitas nalar
manusia untuk membangun dan menentukan pilihan serta kecenderungan manusia
untuk memaksimalkan manfaat dan meminimalkan resiko, maka diharapkan prilaku
manusia dalam konteks politik bisa dipahami, dijelaskan, diprediksi, dan
karenanya, direkayasa secara lebih empirik. Inti dari “pilihan rasional” ialah
bahwa individu sebagai aktor terpenting dalam dunia politik dan sebagai makhluk
yang rasional selalu mempunyai tujuan-tujuan yang mencerminkan apa yang
dianggapnya kepentingan diri sendiri. pendekatan ini memiliki focus utama yang
sama yakni individu atau manusia.
Misalnya,
mengapa seseorang atau sekelompok orang lebih memilih partai A dibanding partai
B. Seseorang atau sekelompok orang tersebut memiliki kepentingan, dan mereka
dihadapkan pada pilihan partai A atau partai B. setelah dibandingkan, orang
atau sekelompok orang tersebut berkesimpulan bahwa kepentingan mereka akan
lebih terakomodasi jika partai A yang berkuasa, daripada jika partai B yang
berkuasa. Dari situ akhirnya orang atau
sekelompok orang tersebut memutuskan untuk memberikan dukungan mereka kepada
partai A.
Esensi
dari “pilihan rasional” adalah ketika dihadapkan pada beberapa alur tindakan,
manusia biasanya akan memilih alur yang mereka yakini akan mendatangkan manfaat
yang paling besar bagi manusia tersebut”. Kesimpulan itu dijabarkan secara
lebih detail dalam premis-premis dasar “pilihan rasional” : A) manusia memiliki
seperangkat preferensi-preferensi yang bisa mereka pahami, mereka tata menurut
sekala prioritas, dan dibandingkan antara satu dengan yang lain. B) tatanan
preferensi ini bersifat transitif, atau konsisten dalam logika. Misalnya jika
seseorang lebih memilih sosialisme disbanding liberalism, dan liberalism
disbanding fasisme, maka orang tersebut pasti memilih sosialisme disbanding
fasisme. C) manusia pada dasarnya adalah makhluk yang egois.[2]
Peran
Media dalam Pemilu
Media
massa adalah sarana untuk mengakses banyak informasi dan merupakan sebuah aspek
yang sangat penting dalam masyarakat kita. Institusi media bisa menentukan
kejadian mana yang masuk berita dan mana yang tidak, siapa yang suaranya masuk
dalam koran, televisi dan radio dan mana yang tidak. Satu hal yang penting
untuk ditelaah ahli linguistik adalah bahwa institusi media bisa memengaruhi
cara menyajikan berita dan kerangka yang digunakan untuk menampilkan
orang-orang yang berbicara di dalam media.
Media
selalu ada dalam kehidupan manusia dan telah diterima sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Scannell (1998) dalam penelitian
terhadap peran sosial dari bidang penyiaran menyatakan bahwa bahasa yang kita
gunakan untuk membicarakan tentang acara di televisi juga mencerminkan
penerimaan kita terhadap kehadiran media televisi. Sejak awal 1970-an, para ahli linguistik
telah tertarik untuk meneliti hubungan antara bagaimana cara menceritakan
sebuah kisah dan apa sudut pandang yang tampak dari cara bercerita itu (Lee
1992; Simpson 1993; Montgomery 1996).[3]
Level dari penggunaan bahasa dalam bercerita ini disebut sebagai representasi
bahasa yang bisa mempengaruhi bagaimana cara melaporkan/merepresentasikan
kejadian yang bisa menimbulkan berbagai versi dan pandangan yang berbeda dari
satu kejadian yang sama.
Menurut pandangan kritis media bukan
hanya alat dari kelompok dominan, tetapi juga memproduksi ideologi dominan.
Media menyebarkan gagasannya, mengontrol kelompok lain, dan membentuk consensus
antar anggota komunitas. Lewat medialah, ideologi dominan, apa yang baik dan
apa yang buruk dimapankan.[4]
Media bukanlah sekedar saluran yang bebas , ia juga subjek yang mengkonstruksi
realitas, lengkap dengan pandangan bias, dan pemihakannya. Media juga dipandang
sebagai wujud dari pertarungan ideologi antara kelompok-kelompok yang ada dalam
masyarakat. Di sini media bukan sarana netral yang menampilkan kekuatan dan kelompok
dalam masyarakat secara apa adanya, tetapi kelompok dan ideologi yang dominan
itulah yang akan tampil dalam pemberitaan.[5]
Titik penting dalam memahami media
menurut paradigma kritis adalah bagaimana media melakukan politik pemaknaan.
Menurut Stuat Hall, media massa pada dasarnya tidak memproduksi, melainkan
menentukan (to define) realitas
melalui pemakaian kata-kata yang terpilih. Makna tidaklah secara sederhana
dapat dianggap sebagai reproduksi dalam bahasa, tetapi sebuah pertentangan
sosial (sosial strunggle), perjuangan
dalam memenangkan wacana. Yang menjadi persoalan dalam pemberian makna ialah
siapa yang memegang kendali dalam memberikan pemaknaan. Dalam realitas sosial,
siapa yang memegang kendali sebagai agen pemproduksi makna, dan siapa atau kelompok
mana yang hanya berperan sebagai konsumen saja.
Media dipandang sebagai arena perang
antar kelas. Ia adalah media diskusi publik dimana masing-masing kelompok
sosial tersebut saling bertarung, saling menyajikan perspektif untuk memberikan
pemaknaan terhadap suatu persoalan. Targetnya adalah pandangannya lebih
diterima oleh publik. Media dapat dilihat sebagai forum bertemunya semua kelompok
dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Setiap pihak berusaha menonjolkan basis
penafsiran, klaim, dan argumentasi masing-masing. Dalam konteks ini, setiap
pihak menggunakan logika, penafsiran, dan bahasa tertentu agar pandangannya
lebih diterima oleh publik.
Kajian media massa, khususnya studi
makna realitas sosial iklan televisi dalam masyarakat, dimulai dengan melihat
konstruksi sosial sebagai bagian realitas sosial dalam ruang kehidupan sosial
baik dalam level makro maupun level mikro. Konstruksi sosial dalam masyarakat
tak bisa terlepas dari kekuatan ekonomi dan perubahan sosial yang terjadi pada
masyarakat. Iklan televisi adalah pemilik produk yang diciptakan untuk berbagai
tujuan, diantaranya adalah sebagai informasi produk dan mendorong penjualan.
Iklan adalah media untuk mengkomunikasikan individu (masyarakat) dengan materi
(produk) yang diiklankan.
Menjelang adanya pemilihan umum, media biasa diramaikan oleh
iklan-iklan politik dari berbagai politisi ataupun partai. Baik media cetak, elektronik
maupun media lainnya, hampir setiap hari didalamnya masyarakat disuguhi oleh
iklan-iklan politik tersebut. Pada awalnya, iklan-iklan politik ini hanya
mengandung unsur ajakan, coblos ini coblos itu, tetapi seiring dengan semakin
mendekatnya momentum pesta demokrasi, misalnya menjelang pemilihan presiden,
iklan-iklan tidak hanya bersifat ajakan atau mengarahkan mana yang harus
dicoblos, melainkan sudah dalam tempo saling serang.
Dengan melakukan iklan, politisi atau partai dapat mendongkrak
tingkat popularitasnya. Misalnya, sewaktu belum memakai iklan, seorang politisi
hanya berhasil menjamah 20% kepopulerannya dari publik. Tetapi setelah
menggunakan jasa yang bukan tanpa pamrih ini, orang tersebut berhasil membujuk
masyarakat melalui iklan dengan tingkat kepopulerannya mencapai lebih dari 50%.
Karena bersifat informatif, iklan politik menjadi sarana politik bagi publik
untuk menyadarkan mereka bahwa publik siap ikut untuk menjadi konstituen yang
kuat, cerdas dan mandiri.
Iklan politik juga ditujukan untuk mendorong terciptanya suatu
persaingan yang sehat antara peserta untuk membuat atau menciptakan
program-program baru yang di butuhkan oleh khalayak. Tetapi pada kenyataannya
sekarang masyarakat masih kurang begitu paham bahwa sebenarnya ada
konspirasi-konspirasi para elit politik dengan media yang bermain didalamnya.
Sosialisasi, pembangunan citra, janji-janji, ataupun kata-kata manis dalam
iklan bisa saja hanya realitas rekayasa dari media. Iklan politik tentu saja
sangat efektif dalam memuluskan pencitraan popularitas, apalagi melalui media
elektronik seperti televisi yang daya jangkaunya ke publik 90% lebih besar dari
media lainnya. Untuk itu, para penguasa media memainkan kesempatan besar ini
dan menumpuk rupiah.
Pemilik media tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan besar ini,
menjelang pemilu seakan menjadi deadline bagi mereka untuk memperbanyak
pundi-pundi uang dari iklan politik dari koleganya. Siasat yang dijalankan
media mungkin yang paling mencolok adalah biaya per spotnya. Misalnya, per
detik iklan dipatok 6 juta rupiah, durasi iklan adalah 30 detik. Kita tinggal
mengalikan saja hasilnya. Apabila dalam satu program yang satu jam memakai
iklan tersebut, tentu kita akan tahu berapa besarnya keuntungan yang ada. Oleh itu,
politisi atau partai harus siap merogoh kocek dalam-dalam agar muka dan
visi-misi mereka muncul di televisi.
Selain itu beberapa media massa yang
ada Indonesia ini pemiliknya masuk dalam partai politik bahkan menjadi ketua
parpol, dengan demikian para pemilik modal yang sekaligus menjadi ketua parpol
ini dapat dengan mudah membuat calon yang diusungnya terlihat baik di mata
masyarakat melalui institusi media. Seringkali kita ketahui antara media satu
dengan media lainnya memiliki focus pembahasan yang berbeda, hal ini dapat
terjadi karena adanya pengalihan isu dalam media untuk menutupi kesalahan calon
yang diusungnya atau terjadi saling singgung antar media karena saling
mengunggulkan calonnya masing-masing. Dari keduanya dapat dikatakan media tidak
sepenuhnya memberikan informasi yang akurat karena dalam pelaksanaannya media lebih
mementingkan keuntungan yang akan didapatkan secara pribadi daripada
kepentingan masyarakat.
Pilihan
Rasional Masyarakat Dalam Pemilu
Manusia
dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas control
struktur dan pranata sosialnya dimana individu berasal. Manusia secara aktif
dan kreatif mengembangkan dirinya melalui respons-respons terhadap stimulus
dalam dunia kognitifnya. Karena itu, paradigma definisi sosial lebih tertarik
terhadap apa yang ada dalam pemikiran manusia tentang proses sosial, terutama
para pengikut interaksi simbolis. Semakin seseorang menggantugkan kebutuhannya
untuk dipenuhi oleh penggunaan media, semakin penting peran media dalam hidup
orang tersebut sehingga media akan semakin memiliki pengaruh kepada orang
tersebut.
Dari perspektif sosial makroskopik,
jika semakin banyak orang bergantung pada media, maka institusi media akan
mengalami perubahan, pengaruh media keseluruhan akan muncul, dan peran media di
masyarakat akan menjadi lebih besar. Melvin DeFleur dan Sandra Ball-Rokeach
(1975, hlm. 261-263) telah memberikan penjelasan yang lebih utuh ke dalam
beberapa pernyataan. Pertama “dasar pengaruh media terletak pada hubungan
antara sistem sosial yang lebih besar, peranan media di dalam sestem tersebut,
dan hubungan khalayak terhadap media”. Efek terjadi, bukan karena semua media
berkuasa atau sumber yang kuat mendorong kejadian tersebut, tetapi karena media
bekerja dengan cara tertentu dalam sebuah sistem sosial tertentu untuk memenuhi
keinginan dan kebutuhan khalayak tertentu.[6]
Kedua,
“derajat ketergantungan khalayak terhadap informasi media adalah variabel kunci
dalam memahami kapan dan bagaimana pesan media mengubah keyakinan, perasaan,
atau prilaku khalayak”.[7]
Keputusan yang diambil seseorang untuk mengendalikan sumer daya, mengendalikan
prilaku orang lain dan nilai-nilai yang dianut orang lain. Bahkan
keputusan-keputusan biasa yang dibuat dalam kehidupan sehari-hari pun bisa
dipandang dari sudut politik.
Di
Supermarket misalnya, ada beberapa merek kopi yang diiklankan sebagai kopi yang
harganya dietentukan berdasarkan pemberian upah secara adil kepada
pekerja-pekerja di negara ketiga dimana kopi itu diproduksi. Setiap kali anda
membeli kopi, anda harus memilih antara merek-merek kopi dengan harga mahal
yang dibuat oleh perusahaan yang memberikan upah yang adil kepada pekerja dunia
ketiga, dengan merek-merek kopi yang lebih murah dan lebih menyolok iklannya
tapi tidak menyatakan bahwa perusahaannya memberikan upah yang adil kepada
kepada pekerjanya. Apapun pilihan anda, pilihan itu akan memberikan konstribusi
kepada perusahaan yang membayar upah secara adil kepada pekerjanya atau kepada
perusahaan yang tidak menyatakan diri membayar upah adil kepada pekerjanya.
Dari
contoh diatas terlihat bahwa keputusan yang diambil untuk memilih salah satu
diantara kedua produk tersebut termasuk dalam “Rational Choice”. Sama seperti
dalam pemilihan umum Presiden-Wakil Presiden, Individu sebagai penyokong
legitimasi sistem pemilihan demokratis adalah seorang warga negara yang
memiliki kemampuan untuk mengetahui konsekwensi dari pilihannya. Kehendak
rakyat merupakan perwujudan dari seluruh pilihan rasional individu yang
dikumpulkan (public choice).
Penerapan
teori rational choice dalam ilmu politik salah satunya adalah untuk menjelaskan
perilaku memilih suatu masyarakat terhadap tokoh atau partai tertentu dalam
konteks pemilu. Teori pilihan rasional sangat cocok untuk menjelaskan variasi
perilaku memilih pada suatu kelompok yang secara psikologis memiliki persamaan
karakteristik. Dalam pendekatan rasional yang menghasilkan pilihan rasional
pula terdapat faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi
pilihan politik seseorang, misalnya faktor isu-isu politik ataupun kandidat
yang dicalonkan. Dengan demikian muncul asumsi bahwa para pemilih mempunyai
kemampuan untuk menilai isu-isu politik tersebut. dengan kata lain pemilih
dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional.
Misalnya iklan kampanye dalam pemilihan presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) – Boediono, dalam iklan tersebut menggambarkan keberhasilan
program-program SBY yang dilaksanakan pada periode kepemimpinan sebelumnya
sehingga banyak masyarakat yang tertarik untuk memilihnya kembali sebagai
presiden. Dari ilustrasi ini
menggambarkan begitu kuatnya pengaruh media televisi untuk mempengaruhi rasional
orang awam. Dengan media televisi, kampanye mampu menjangkau orang-orang yang
cacat sekalipun seperti tuna netra dan tuna rungu. Bagi mereka yang takdapat
melihat, bisa menikmati dengan mendengar, begitu juga bagi yang tak dapat
mendengar dapat menikmatinya dengan visualisasinya. Selain faktor aktualitas,
televisi dengan karakteristik audio visualnya memberikan sejumlah keunggulan,
diantaranya mampu menyampaikan pesan melalui gambar dan suara secara bersamaan
dan hidup, serta dapat menayangkan ruang yang sangat luas kepada sejumlah besar
pemirsa dalam waktu bersamaan (Nurrahmawati, 2002: 97).
Kenyataan buatan yang ditampilkan lewat iklan dan program-program
politik di media sesungguhnya menggunakan retorika bahasa yang dapat memberikan
pemahaman yang berbeda terhadap makna sebenarnya karena tidak sesuai dengan
kenyataan sesungguhnya. Dalam iklan politik Susilo Bambang Yudoyono (SBY),
presiden yang menonjolkan keberhasilan pemerintahannya menurunkan harga bahan
bakar minyak (BBM) sebanyak tiga kali setelah pemerintahannya sendiri menaikkan
harga BBM. Semua orang tahu naik-turunnya harga BBM di Indonesia mengikuti
harga BBM dunia. Kenaikan harga BBM telah meningkatkan jumlah orang miskin.
Tetapi SBY dengan bangga menyatakan secara terbuka di beberapa media bahwa dia
yang menurunkan harga BBM.
Begitu pun iklan lawan politiknya, Megawati. Dia memasang iklan
untuk menepis iklan keberhasilan SBY. Pada iklan tersebut, Megawati megunakan
data-data kegagalan pemerintah untuk menjatuhkan pamor SBY. Namun, pada
kenyataannya banyak kegagalan Megawati saat menjabat menjadi presiden (termasuk
menaikkan harga BBM). Iklan Megawati yang menyinggung pemerintahan SBY tanpa
melihat bagaimana pemerintahannya dulu berdampak pada dirinya sendiri, sehingga
Megawati saat itu kehilangan pamor dan SBY terpilih menjadi presiden kembali.
Sampai saat ini Megawati dan mesin politiknya tidak menunjukkan program-program
konkret untuk Rakyat.
Partai politik memang sadar betul bahwa aksi-aksi politiknya
menjadi tidak berarti tanpa kehadiran media. Menurut C. Sommerville, dalam
bukunya “Rakyat Pandir atau Rakyat Informasi” (2000), kegiatan politik niscaya
akan berkurang jika tidak disorot media. Ada beberapa hal memengaruhi itu,
salah satunya media memiliki kemampuan reproduksi citra dahsyat. Beberapa aspek
dari reproduksi citra bisa dilebihkan dan dikurangi dari realitas aslinya.
Selain itu, media menyediakan beragam makna untuk mewakili dan membangun
kembali fakta tidak terkatakan (unspeakable),
yaitu beragam kepentingan politis dan finansial yang sengaja disembunyikan di
balik berita dan semua isi yang tersaji melalui media. Kemampuan mendramatisir
oleh media pada gilirannya merupakan amunisi yang baik bagi para politisi,
terlebih menjelang pemilu, untuk memengaruhi Rakyat sebagai penonton sehingga
mendukung para politisi dan partai-partai politik.[8]
Berdasarkan
jajak pendapat Majalah Tempo, 5 April 2009, masyarakat masih memposisikan iklan
politik di media massa sebagai rujukan dalam pemilihan umum. Sebanyak 59,7
persen responden mengapresiasi iklan televisi sebagai referensi dalam pemilihan
umum, sedangkan 2,2 persen memilih media cetak dan 1,9 persen mempercayai radio
sebagai acuan dalam menetapkan pilihan.[9]
Dalam hal ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki ketergantungan tinggi
terhadap media, retorika bahasa yang digunakan media dapat mempengaruhi
pemikiran masyarakat yang melihat, mendengar, atau membacanya. Untuk itu media
massa terutama televisi memiliki tugas penting untuk mengevaluasi
kinerja pemerintah. Melalui informasi yang berasal dari media massa, seorang
pemilih dapat menilai apakah kinerja pemerintah sudah maksimal atau malah jalan
ditempat yang selanjutnya dapat digunakan sebagai suatu pertimbangan dalam
pemilu berikutnya.
Kesimpulan
Media merupakan
alat yang menjadi sumber utama masyarakat mendapatkan informasi tentang situasi
dan kondisi disekitarnya. Pengetahuan manusia tentang dunia ini juga dipengaruhi
oleh lembaga pers yang ada, sehingga media merupakan tempat yang sangat
berpotensi untuk memproduksi dan menyebarluaskan makna sosial, atau memberikan
makna yang besar terhadap kejadian-kejadian yang terjadi di dunia baik dalam
bidang sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Dalam menjelaskan informasi,
media sering kali menggunakan bahasa yang bersifat persuasi sehingga dapat
menarik konsumen (masyarakat) untuk mempercayai informasi yang dipresentasikan.
Dalam pemilihan umum khususnya
pemilihan presiden, media memiliki pengaruh yang cukup besar. Karena jalan
utama masyarakat dapat mengenal calonnya ialah melalui media terutama media
televisi yang dapat digunakan oleh berbagai kalangan. Dengan
media televisi, kampanye mampu menjangkau orang-orang yang cacat sekalipun
seperti tuna netra dan tuna rungu. Bagi mereka yang takdapat melihat, bisa
menikmati dengan mendengar, begitu juga bagi yang tak dapat mendengar dapat
menikmatinya dengan visualisasinya.
Oleh karena itu
media diharapkan dapat menjadi pengawas bagi pemerintahan yang sedang
berlangsung dan memberikan informasi yang tepat dan akurat, tidak menutupi
ataupun mengalihkan informasi yang seharusnya didapatkan masyrakat. Dengan
adanya media, masyarakat dapat mempertimbangkan pemimpin yang tepat untuk
bangsanya dengan melihat kesadaran politiknya tidak hanya melalui
popularitasnya saja. Karena siapun yang dipilih masyarakat dalam pemilu akan
menentukan untung dan ruginya masyarakat itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Linda
Thomas dan Shan Wereing, Bahasa,
Masyarakat dan Kekuasaan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar , 2007.
Eriyanto,
Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media,
Yogyakarta : LKiS, 2001
Stanley
J. Baran dan Dennis K. Davis, Teori dan
Komunikasi Massa : Dasar Pergolakan
dan Masa depan, Jakarta : Salemba
Humanika, 2010.
Dunleavy,
Patrick, Democracy, Bureaucracy and
Public Choice : Economic Explanations in Political Sciece, Harvester Wheatseaf : UK, 1991.
Bungin,
Burhan, Konstruksi Sosial Media Massa : Kekuatan
Pengaruh Media Massa, Iklan Televisis dan Keputusan Konsumen Serta Kritik Terhadap Peter L. Berger &
Thomas Luckman, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008.
m.kompasiana.com,
29 Agustus 2014.
Majalah Tempo, 5 April 2009.
[1]
Hugh Ward, “Rational Choice” dalam
Marsh, David dan Gerry Stokker ed.,”Theory
and Methods in Political Science”, Palgrave McMillian, 2002.
[2] Dunleavy,
Patrick, “Democracy, Bureaucracy and
Public Choice : Economic Explanations in Political Sciece, “ Harvester
Wheatseaf, UK, 1991, hlm 5.
[3]
Linda Thomas dan Shan Wereing, Bahasa,
Masyarakat dan Kekuasaan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta : 2007, hlm 82.
[4] Eriyanto,
Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media, LKiS, Yogyakarta : 2001, hlm
36.
[5] Ibid, hlm 37.
[6]
Stanley J. Baran dan Dennis K. Davis, Teori dan Komunikasi Massa : Dasar
Pergolakan dan Masa depan, Jakarta, Salemba Humanika, 2010, hlm 340.
[7] Ibid,.
[8] m.kompasiana.com,
29 Agustus 2014.
[9] Majalah Tempo, 5 April 2009.
Komentar
Posting Komentar